
Banyuwangi – Detikposnews.com // Hari ini kembali jadi panggung sandiwara politik dan ekonomi. Kedatangan Luhut Binsar Pandjaitan ke Banyuwangi menimbulkan tanda tanya besar: untuk apa sebenarnya ia datang? Apakah sekadar silaturahmi, atau justru ada “jatah bulanan” dari emas Tupang Pitu yang hendak dipastikan?
Candaan para pejabat Banyuwangi, mulai dari Bupati Ipuk Fiestiandani hingga suaminya, mantan Bupati Abdullah Azwar Anas, terlihat lebih mirip ejekan bagi rakyatnya sendiri. Mereka bisa tertawa, sementara bukit Tupang Pitu semakin hancur, perut bumi Banyuwangi dikeruk, emasnya dirampok oleh pengusaha asing, dan rakyat semakin miskin.
Ironis, ketika pejabat pusat datang, yang dibicarakan bukan penderitaan rakyat, bukan darurat lingkungan, bukan pula kemiskinan yang mencekik. Yang dijual hanya cerita palsu: bahwa Banyuwangi aman, kondusif, dan penuh prestasi. Hutang daerah? Krisis sosial? Luka alam akibat tambang? Semua ditutup rapat, seakan-akan tak pernah ada.
Faktanya, tambang emas di Tupang Pitu adalah luka besar Banyuwangi. Luka yang dibuka oleh para pejabat sendiri: dari Abdullah Azwar Anas hingga Ipuk Fiestiandani, yang lebih sibuk mempertahankan citra ketimbang membela rakyat. Mereka tak peduli gunung yang digali, hutan yang mati, atau air yang tercemar. Mereka tak peduli tangisan rakyat yang kehilangan tanah dan nafkah.
Aktivis Filsafat Logika Berpikir, Raden Teguh Firmansyah, mengkritik keras kondisi ini:
“Kedatangan pejabat pusat seperti Luhut hanyalah simbol bagaimana kekuasaan jadi persekutuan dengan modal. Mereka tertawa di hadapan rakyat, tapi sejatinya sedang berkomplot dengan para perampok emas. Alam Banyuwangi bukan warisan untuk dijual, tapi titipan untuk dijaga. Dan siapa pun yang menutup mata dari kerusakan ini, sesungguhnya sedang menulis namanya sendiri dalam daftar pengkhianat sejarah.” kata Raden.
Kini, ketika Luhut hadir sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional, publik bertanya:
“Apakah benar kedatangan ini untuk rakyat? Ataukah hanya untuk mengamankan jatah dari emas Banyuwangi?” tanya Raden.
Sejarah akan mencatat:
Mereka tertawa di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Mereka berpesta di atas bumi yang dilukai. Dan rakyat Banyuwangi yang menjadi saksi, akan mengingat siapa yang menjual tanahnya demi kerakusan.