Detikposnews.com // Banyuwangi,- Pengajian umum Ahad pagi bertajuk “Nelesi Ati” kembali menggema dari Pondok Pesantren Adz Dzikra, Banyuwangi. Bertempat di Aula Sidqi Maulana pada Minggu (22/6/2025).
Kegiatan ini menandai pekan kedua sejak forum tersebut aktif kembali setelah hampir lima tahun vakum.
Ratusan jamaah dari berbagai penjuru kecamatan di Banyuwangi tampak antusias menghadiri momentum spiritual yang sarat nilai keimanan, kebersamaan, dan refleksi ruhani.
Bukan sekadar forum kajian, “Nelesi Ati” hadir sebagai ruang ruhani yang menyejukkan jiwa, menyambung silaturahmi, dan menyalakan kembali obor kepedulian sosial. KH. Ir. Achmad Wahyudi, S.H., M.H.—pendiri sekaligus pengasuh Ponpes Adz Dzikra—membuka pengajian dengan refleksi mendalam tentang sejarah dan spirit awal forum ini.
“Pengajian ini telah beberapa kali berganti nama sejak 2007. Tapi ruhnya tetap sama yaitu menghidupkan hati, menyatukan ukhuwah, dan menumbuhkan cinta ilmu serta amal,” ungkap KH Achmad Wahyudi dalam sambutan pembukaannya.
Beliau menegaskan bahwa “Nelesi Ati” bukan sekadar nama, melainkan sebuah filosofi hidup. Dalam bahasa Jawa, neles bermakna tunduk, lembut, penuh adab, serta mencerminkan keluhuran budi pekerti. Maka nelesi ati dimaknai sebagai proses menundukkan hati kepada Allah SWT, melembutkan jiwa agar mampu menerima nasihat, merelakan takdir, dan bersabar dalam setiap ujian kehidupan.
KH Achmad Wahyudi mengajak seluruh jamaah, untuk merenungi firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 159, yang menegaskan pentingnya kelembutan hati sebagai fondasi dalam dakwah dan kepemimpinan. Dalam tausiyahnya, beliau juga menguraikan empat sifat utama Rasulullah ﷺ yang menjadi teladan sepanjang zaman: Shiddiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan kebenaran), dan Fathonah (cerdas dan bijaksana).
“Jangan gelisah jika ditolak, dicibir, atau diremehkan. Bahkan Rasulullah pun ditolak, meski tutur katanya begitu indah dan akhlaknya sempurna. Kewajiban kita hanyalah berkata baik dan menyampaikan kebenaran,” ujarnya, dengan nada teduh namun penuh ketegasan.
Poin paling menyentuh dalam pengajian kali ini adalah penekanan tentang tawakal, yaitu menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT secara total. Melalui ilustrasi sederhana namun mengena, KH Achmad Wahyudi menggugah kesadaran jamaah dengan membandingkan kecenderungan manusia yang lebih percaya kepada janji pejabat ketimbang janji Allah SWT. Menurutnya, kecenderungan ini mencerminkan lemahnya spiritualitas dan menjadi penyebab utama mengapa banyak orang menunda amal kebaikan.
“Kalau disuruh pejabat kita semangat, tapi disuruh Allah SWT kita ragu. Padahal Allah SWT yang Mahakaya, Mahakuasa, dan Maha Menepati Janji,” tegasnya.
Di akhir tausiyahnya, KH Achmad Wahyudi menutup dengan sebuah kalimat yang menggugah dan menyentuh hati: “Kita mungkin tak memiliki apa-apa. Namun jika kita bertawakal dan terus berusaha, Allah SWT akan membukakan jalan, bahkan bisa terjadi hari ini juga,” tuturnya dengan penuh keyakinan.
Pengajian ini tidak berhenti pada tataran spiritual semata. Usai tausiyah, dilakukan santunan kepada anak-anak yatim piatu, sebagai bentuk konkrit dari kepedulian sosial yang menjadi bagian tak terpisahkan dari ruh “Nelesi Ati”. KH Achmad Wahyudi menegaskan komitmen pribadi sekaligus forum pengajian ini, untuk menjadikan santunan sebagai program mingguan yang berkelanjutan.
“Kita upayakan agar setiap jamaah yang memiliki kelebihan rezeki bisa menyumbang minimal satu amplop. Jika anak yatim yang hadir banyak, kita distribusikan sebagaimana adanya. Kalau sedikit, kita tambahkan jumlahnya. Ini bukan seremoni. Ini adalah gerakan cinta dan empati,” tegasnya.
Lebih jauh, pengasuh ponpes Adz Dzikra juga merencanakan program santunan sembako bagi dhuafa dan lansia. Setiap Ahad, akan diundang beberapa keluarga kurang mampu untuk mengikuti pengajian sekaligus menerima paket sembako.
“Ngaji sambil silaturahmi, sambil dapat rezeki,” imbuhnya disambut haru para jamaah.
Atmosfer kebangkitan terlihat dari keterlibatan banyak elemen masyarakat. Hadir perwakilan dari GM FKPPI PC-1325 Banyuwangi, aktivis keagamaan, tokoh lintas wilayah, hingga perwakilan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Indonesia (YLBHKI). Hal ini memperkuat sinyal bahwa Nelesi Ati bukan semata pengajian lokal, tapi potensi gerakan moral kolektif yang menjangkau banyak aspek kehidupan.
Ada hal menarik yang selalu menyertai setiap gelaran pengajian Nelesi Ati: pembagian konsumsi berupa nasi dengan menu lengkap, disajikan di atas piring bersama satu botol air mineral ukuran mini. Seluruh proses distribusi dilakukan dengan tertib dan penuh kebersamaan oleh para santriwan dan santriwati, mencerminkan sistem yang terorganisir serta sarat dengan nilai-nilai edukatif dan pembinaan karakter.
Kembalinya pengajian Nelesi Ati bukan hanya soal jadwal kegiatan. Ini adalah kebangkitan ruhani. Sebuah gerakan yang menyentuh hati, menggerakkan empati, dan menghidupkan kembali semangat gotong royong berbasis nilai-nilai keislaman.
Dengan konsistensi setiap Ahad pagi, Nelesi Ati diproyeksikan menjadi episentrum spiritual baru di Banyuwangi: menggabungkan ilmu, dzikir, amal sosial, dan pembinaan akhlak umat secara berkelanjutan.
sumber: (rag)
editor: jufri