MENYIKAPI PAJAK BANYUWANGI, MESKIPUN MULTI TARIF, TETAP NAIK…KESALAHAN PENERAPAN PERHITUNGAN NJOP??

Opini: Detikposnews.com //

Oleh: Adi Purnama, S.T.,M.M.

Perlindungan masyarakat, dalam mengahadapi kenaikan Pajak yang bersifat anomali, adakah perhitungan dan penerapan dalam kajian dan anlisa yang salah? Sementara hampir menjadi gejala memyeluruh kenaikan yang sama di setiap daerah, tidak lepas juga di Daerah Banyuwangi. Penerapan hitungan Pajak tertagih dalam SPPT masyarakat, beragam ada yang merasa naik sebelumnya dalam periode 2020-2025. Dan dirasa sangat memberatkan dan melonjak tajam dari periode tahun-tahun sebelumnya.

Kenaikan berkala dalam periode sebelumnya, memang ada ekskalasi, bisa 2-3 tahun adanya perubahan berkala, namun skala kenaikannya menjadi trend positif yang smoth, yang bersifat grafik kenaikan terekskalasi berkala dan masih dalam batas kewajaran. Kenaikan berkala dapat dikenakan pada Tanah/Bumi dan Bangunan. Lain halnya penilaian bangunan yang sifatnya ekskalasi menurun, perhitungan kemanfaatannya, dengan penurunan/amortisasi bahwa bangunan mengalami penurunan nilai manfaat dan nilai bangunan.

Penerapan dasar perhitungan sangat berdasar pada konsep kajian dan analisa Nilai Jual Obyek Tanah/NJOP dari sebuah perkalian nilai dalam hitungan besaran kenaikan berkala. Nilai tanah memang “nilai aset”, bukan “nilai liquid” yang sewaktu waktu, nilai tersebut, sangat bergantung pada perkembangan suatu daerah itu sendiri. Nilai Aset, bukan angka pasti yang dapat menjadi acuan, yang dalam penetapannya harga yang dihitung secara fix cost/capital expenditure, bisa saja nilai aset tadinya 100% menjadi 20% saja, atau bahkan dibawahnya. Tanah sebagai aset dalam Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah, No. 28 tahun 2009 bersifat “Self Assessment” penilai pribadi dari sebuah transaksi aset, maka dari itu tidak bisa di anggap “nilai klastering” yang bersifat tetap/fix. Seperti “mengunci” dalam sebuah penilaian Nilai Zona Tanah, ini hanya sebuah pendekatan yang tidak tetap. Secara aspek legal, sesuai peraturan perundangan nilai transaksi, adalah “kesepakatan perjanjian hukum” yang di notarial secara otentisitas, bukan angka yang harus fix, sebagai “kuncian sistem” yang justru berpotensi melanggar hukum dan gugatan hukum.

Analisa dan kajian perhitungan, juga haruslah dikaji pada sistem penerapan “trend pajak” yang telah fix terjadi, misalkan analisis yang digunakan, data dari tahun 2004-2019, ekskalasi dalam hitungan, dapat menjadi formula dan acuan hukum perhitungan dengan pertimbangan adanya pengembangan Bumi dan Bangunan, bagaimana Pemerintah Daerah Banyuwangi, dalam pemahaman dan penerapan perhitungan pajak, supaya tidak terjadi anomali kenaikan 250% bahkan sampai 1500%, ternyata kelemahan dan salah penerapan “tim profesional” dalam membuat perhitungan. Sehingga sangat memberatkan dan membebani masyarakat luas Banyuwangi. Potensi dalam tuntutan hukum yang justru dilakukan Pemda Banyuwangi sendiri karena tidak profesional dan ahli.

Konsep perhitungan pajak yang berlandaskan kajian, haruslah melibatkan masyarakat, dan informasi sebelum penerapan Nilai Pajak, informasi NJOP dapat diakses dalam keterbukaan informasi, bukan sebagai “ruang gelap”, sebagai ruang negosiasi dan permainan, antara wajib pajak dan petugas pajak, karena sistem yang diadakan pemerintah failed, sangat mudah di intervensi dan akses login mudah untuk dipermainkan dan disalahgunakan oleh oknum.

Permainan angka-angka, setidaknya berlandaskan pada aturan yang benar-benar terkaji baik, dan ahli/profesional. Nilai pajak yang sangat anomali dan melonjak sedemikian drastis/tidak wajar. Bisa jadi “tim profesional, tidak profesional” dan kapabilitas. Karena hasilnya, sangat tidak wajar dan anomali dalam hasil akhir hitungan.

Perlindungan kenaikan pajak SPPT dan penerapan Nilai NJOP menjadi lemah ketika cara menghitung obyek pajak tidak dilandasi pada pemahaman hukum yang terkaji secara baik dan benar baik secara Akademisi dan Ahli, bisa saja salah dalam kajiannya. Seorang profesor sekalipun terjadi perbedaan prinsip hukum dan perbedaan sudut pandang pemahaman, karena kurangnya integral dan luasnya wawasan keilmuwan yang harus dimiliki syarat tim penyusun profesional dan pengelola pajak itu sendiri.

Pemahaman “naik atau tidak naik” pada angka koefisien pengali dengan metoda “single tarif 0,3 atau multi tarif, tentu bila diterapkan dengan NJOP acuan saat ini, pastinya akan semakin memberatkan masyarakat luas. Substansi permasalahan yang terjadi adalah bagaimana, cara menghitung NJOP saat ini dengan konsep Undang-Undang Pajak dan PP pajak, yang menyebabkan kenaikan PBB yang telah berubah naik sebelumnya, apabila “diperbandingkan” dengan cara perhitungan di bawah tahun 2019 dan atau sebelumnya, kalau berbeda berarti cara hitung saat ini dapat dibilang “seluruhnya salah hitung” tidak sesuai pemahaman jelas/clear secara peraturan perundangan.

Contoh kecil perbedaan antara penafsiran sistem penerapan Pajak BPHTB saja, kalau di Perundangan disusun berdasarkan “self assessment” sementara Pemda mengadakan “Kunci-kuncian” terhadap tarif NJOP, ini saja berpotensi pelanggaran hukum atas risk sistem, belum lagi Sistem yang tar audit BSN sebagai sistem penuh resiko kebocoran. Jangan sampai negeri ini, penuh dengan manipulatif uang rakyat, uang negara yang keluar/belanja di korupsi, uang masuk/pajak juga penuh dengan permainan manipulatif. Masuk dan keluar uang negara dikorupsi oleh pejabatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *