Detikposnews.com // Banyuwangi,- Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-POLRI (GM FKPPI) PC-1325 Banyuwangi bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Kawah Ijen (YLBHKI) menggelar audiensi intensif dengan jajaran PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Banyuwangi. Pertemuan tersebut berlangsung di ruang rapat Kantor ASDP Ketapang, Kamis (24/7/2025) siang.
Audiensi ini digelar guna membedah berbagai persoalan laten yang terjadi di kawasan pelabuhan penyeberangan Ketapang–Gilimanuk. Dalam forum terbuka itu, GM FKPPI menyoroti sejumlah persoalan mendasar, mulai dari aspek sistem dan regulasi, budaya operasional yang berkembang, hingga kontribusi institusional ASDP dan KSOP terhadap pemerintah daerah.
Ketua GM FKPPI PC-1325 Banyuwangi, KH. Ir. Achmad Wahyudi, SH., MH., menegaskan bahwa berbagai persoalan yang selama ini terjadi bukan hanya akibat teknis semata, tetapi mencerminkan persoalan struktural yang lebih dalam.
“Pertemuan ini adalah bentuk ikhtiar untuk menggali akar masalah dan mencari solusi komprehensif. Kita perlu bertanya, apakah ada regulasi yang perlu diperbaiki, apakah ini soal ketidaktegasan pengelola, atau justru budaya ekonomi di sekitar pelabuhan yang tidak sehat?” tegas Ir Achmad Wahyudi.
GM FKPPI mengkritisi mekanisme penerbitan Surat Perintah Berlayar (SPB) yang menurutnya tidak proporsional. Di satu sisi, perusahaan operator memiliki kewenangan administratif untuk mengajukan SPB, namun di sisi lain tanggung jawab material atas kebenaran dokumen justru dibebankan pada nakhoda.
“Ini jelas tidak adil. Harus ada sistem yang menjamin bahwa dokumen yang diajukan tidak hanya sah secara administratif, tetapi juga benar secara substansi. Nakhoda tidak boleh dijadikan tameng jika terjadi pelanggaran atau kecelakaan,” ujarnya.
Selain itu, GM FKPPI juga mengangkat isu budaya operasional pelabuhan yang sarat praktik tidak sehat seperti percaloan, tekanan sosial terhadap pekerja, dan minimnya sensitivitas sosial dari pihak perusahaan, terutama saat terjadi musibah.
“Ketika terjadi kecelakaan laut, pendekatan kemanusiaan harus menjadi prioritas. Jangan sampai keluarga korban tidak disentuh secara layak. Perusahaan, KSOP, ASDP, dan Pemda harus hadir bersama,” tuturnya.
Lebih lanjut, GM FKPPI mendorong ASDP dan KSOP untuk tidak hanya berkontribusi secara fiskal, namun juga membangun komunikasi yang sehat dengan pemerintah daerah. Ia mencontohkan bagaimana instansi vertikal seperti kepolisian tetap mampu bersinergi dengan Pemda dalam banyak kasus.
Persoalan teknis juga menjadi sorotan tajam GM FKPPI. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari laporan KNKT, sebuah kapal dengan spesifikasi 1.000 ton kelebihan muatan 300–400 ton.
“Jika laporan KNKT benar, ini menandakan adanya disparitas antara data teknis yang disahkan dan fakta di lapangan. Ini bukan soal kelalaian, tapi indikasi lemahnya sistem pengawasan,” ungkapnya.
GM FKPPI mengusulkan, agar kapal-kapal kecil diganti dengan kapal besar yang lebih sesuai dengan kebutuhan angkutan kendaraan bertonase di atas 35 ton. Tak hanya itu, infrastruktur jalan sekitar pelabuhan juga harus disesuaikan dengan beban yang dilalui, termasuk optimalisasi fungsi jembatan timbang.
“Kami juga mengusulkan penambahan kapal tunda, yang akan sangat membantu dalam situasi darurat atau saat terjadi insiden di laut,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Widodo, perwakilan KSOP Banyuwangi, mengakui bahwa sistem alur pelayaran saat ini memang belum sepenuhnya optimal.
“Traffic kapal di jalur Ketapang–Gilimanuk sangat padat. Dalam kondisi normal, dermaga hanya ideal untuk empat kapal, tetapi karena urgensi operasional, kadang diisi lebih,” kata Widodo.
Ia juga menjelaskan bahwa kemacetan bukan disebabkan kekurangan kapal, melainkan pengetatan tonase. Truk-truk bertonase tinggi tidak dapat masuk ke MB (Movable Bridge), sehingga terjadi antrean panjang.
KSOP mengungkapkan, bahwa 15 kapal yang sebelumnya rusak kini sedang dalam proses pemulihan, dengan 10 di antaranya sudah kembali beroperasi. Sementara itu, jumlah tenaga lasing (pengikat kapal) di dermaga masih minim, menyebabkan proses sandar dan bongkar muat berlangsung lebih lama dari idealnya.
“Kami butuh penambahan SDM yang mumpuni, agar proses pelabuhan berjalan lebih efisien dan aman,” ujar Widodo.
Forum audiensi ini menjadi tonggak penting dalam mendorong reformasi total di kawasan pelabuhan Ketapang–Gilimanuk. GM FKPPI berkomitmen untuk terus mengawal proses ini, memastikan bahwa sistem pelayaran dan budaya operasional pelabuhan berjalan sesuai prinsip keselamatan, keadilan, dan akuntabilitas.
“Kami berharap seluruh pemangku kepentingan membuka diri untuk perubahan. Pelabuhan bukan sekadar pintu ekonomi, tapi juga wajah dari tata kelola publik yang berdampak langsung bagi masyarakat luas,” pungkas Ir Achmad Wahyudi.
pewarta: (rag/bp-bwi)
editor: jufri