Sarolangun,Detikposnews.com || 7 Agustus 2025 – Alih-alih menyelesaikan persoalan dugaan pungutan liar (pungli) dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Pelawan Jaya, Kepala Desa berinisial NN justru menyerang balik. Ia melaporkan empat aktivis Sarolangun ke pihak kepolisian atas tuduhan pemerasan. Laporan tersebut dilayangkan oleh seorang warga berinisial DN pada 26 Juli 2024, yang belakangan diketahui memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan desa.
Ironisnya, justru muncul dugaan kuat bahwa Kades NN adalah pelaku utama pungli. Ia disebut memungut biaya sebesar Rp600.000,00 per sertifikat, jauh melampaui ketentuan resmi pemerintah yang hanya membolehkan pungutan maksimal Rp150.000,00 sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Pembiayaan PTSL.
Menurut kesaksian aktivis lapangan, MD, Kades NN sempat meminta agar pemberitaan terkait dugaan pungli dihapus dari media sebagai syarat “damai”. Namun ketika permintaan tersebut tidak dikabulkan, ia memutarbalikkan fakta dan justru menuduh para aktivis memeras dirinya. Ini dinilai sebagai upaya kriminalisasi terhadap suara publik yang kritis.
Efendi Samudra, Sekretaris PWDPI Kabupaten Sarolangun, menegaskan:
“Kami sudah pegang data lengkap terkait dugaan pungli ini. Jangan coba-coba mengelak. Kalau memang merasa tidak bersalah, hadapi secara terbuka di depan hukum dan publik. Jangan malah melempar tuduhan tak berdasar ke aktivis yang hanya menjalankan fungsi kontrol sosial.”
Jika dugaan pungli ini terbukti, Kades NN dapat dijerat sejumlah pasal pidana, antara lain:
• Pasal 423 KUHP: Pegawai negeri yang dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar, atau melakukan pemotongan terhadap pembayaran — diancam pidana penjara hingga 6 tahun.
• Pasal 12 huruf e UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001): PNS yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar, atau memberi potongan — diancam pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda paling banyak Rp1 miliar.
• Bahkan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan juga bisa dikenakan jika ada unsur ancaman halus terhadap warga agar membayar di luar ketentuan.
Sebaliknya, laporan tuduhan pemerasan terhadap aktivis patut dipertanyakan jika tidak disertai bukti yang kuat. Bila terbukti direkayasa, hal ini justru dapat dikategorikan sebagai tindakan pencemaran nama baik atau laporan palsu (Pasal 220 KUHP), dan menjadi alat kriminalisasi terhadap kontrol sosial masyarakat sipil.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kuasa lokal kerap memanipulasi hukum untuk membungkam kritik, alih-alih membenahi kebijakan dan akuntabilitas publik.
(Tim Investigasi)