Detikposnews.com // Tanggerang – Yang membela hak ahli waris dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Tangerang Selatan, alih-alih sekadar perselisihan properti, justru membuka luka lama sekaligus potret buram penanganan sengketa lahan di Indonesia. Lebih jauh, narasi “premanisme” yang dialamatkan kepada GRIB Jaya oleh pihak-pihak tertentu berpotensi menjadi taktik klasik untuk mengaburkan akar permasalahan yang lebih dalam: ketidakadilan struktural dan dugaan impunitas oknum aparatur negara.
Sengketa lahan di Indonesia bukanlah fenomena baru. Dari Sabang hingga Merauke, cerita pilu masyarakat adat, petani, hingga ahli waris yang berhadapan dengan korporasi besar, institusi negara, atau bahkan oknum-oknum yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, telah menjadi narasi yang berulang.
Modusnya pun beragam, mulai dari klaim sepihak atas tanah yang telah dihuni turun-temurun, pembebasan lahan yang tidak adil, hingga praktik manipulasi hukum demi memuluskan kepentingan tertentu.
Dalam kasus GRIB Jaya dan BMKG, kronologi yang diungkapkan oleh pihak GRIB Jaya melalui tim hukumnya memunculkan sejumlah pertanyaan krusial.
Kekalahan BMKG di tiga tingkat pengadilan awal, lalu “kemenangan” kontroversial di tingkat Peninjauan Kembali tanpa perintah eksekusi yang jelas, hingga upaya berkali-kali BMKG untuk mendapatkan perintah eksekusi yang selalu ditolak pengadilan, mengindikasikan adanya kejanggalan dan ketidakpastian hukum yang merugikan masyarakat.
Penggunaan “surat penjelasan” dari ketua pengadilan sebagai pembenaran tindakan di lapangan, alih-alih surat perintah eksekusi yang sah, semakin memperkuat dugaan adanya upaya jalan pintas yang mengabaikan prosedur hukum yang semestinya.
Hal ini seolah menegaskan adagium “hukum tumpul ke atas tajam ke bawah” di mana institusi negara diduga mencari cara untuk memaksakan kehendak tanpa melalui mekanisme eksekusi yang ketat dan transparan.
Framing isu premanisme terhadap GRIB Jaya, sebuah organisasi yang menyatakan diri membela hak-hak ahli waris, patut dicermati sebagai taktik pengalihan isu.
Ketika masyarakat sipil atau ormas berupaya mendampingi dan memperjuangkan hak-hak rakyat yang berhadapan dengan kekuatan besar, termasuk negara, label “preman” atau “melawan negara” seringkali digunakan untuk mendiskreditkan dan melemahkan posisi mereka di mata publik.
Tujuannya jelas: mengalihkan fokus dari substansi permasalahan, yaitu dugaan ketidakberesan dalam proses hukum dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Ironisnya, tuduhan premanisme ini muncul di tengah maraknya isu korupsi dan praktik mafia tanah yang melibatkan oknum aparatur negara.
Masyarakat sudah semakin cerdas dalam membaca narasi. Mereka mulai mempertanyakan, apakah label “preman” ini sengaja diciptakan untuk mengecohkan publik dari kondisi riil, di mana hukum justru dijadikan tameng untuk mengakumulasi kekayaan pribadi dan kelompok tertentu? Apakah ini cara untuk membungkam Suara-suara kritis yang berani melawan ketidakadilan, termasuk praktik-praktik yang menyengsarakan rakyat atas nama negara? Sengketa lahan di Indonesia adalah bom waktu yang terus berdetak.
Ketidakadilan dalam penanganan kasus-kasus agraria tidak hanya merugikan masyarakat secara ekonomi dan sosial, tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap institusi penegak hukum dan pemerintah.
Kasus GRIB Jaya vs BMKG, dengan segala kejanggalan dan narasi yang menyertainya, seharusnya menjadi pengingat keras bahwa reformasi agraria c dan penegakan hukum yang berkeadilan adalah harga mati.
Masyarakat tidak boleh terkecoh oleh upaya framing murahan yang bertujuan melindungi kepentingan segelintir pihak dengan mengorbankan hak-hak rakyat kecil.
Hukum harus berdiri tegak, tanpa pandang bulu, dan benar-benar menjadi panglima dalam menyelesaikan setiap sengketa, termasuk sengketa lahan, demi terciptanya keadilan. (Red)