Lhokseumawe – detikposnews.com-Apakah Aceh Masih Punya Harga di Mata Pemerintah Pusat?
Dalam tiga bulan terakhir, dua keputusan kontroversial yang ditelurkan oleh pemerintah pusat kembali mengguncang nurani rakyat Aceh. Polemik tak terhindarkan. Dua keputusan itu adalah: wacana pembentukan empat batalyon baru di Aceh, serta yang paling baru, penetapan empat pulau di wilayah Aceh Singkil menjadi milik Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian.
Penetapan tersebut bukan perkara teknis administratif belaka. Ia adalah sebuah upaya sistematis yang seolah-olah menggerogoti kedaulatan wilayah, martabat, dan hak Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Seolah-olah Aceh hanya lembaran peta kosong yang bisa diwarnai ulang sesuka hati dari Jakarta.
Empat Batalyon yang Menghilang Tanpa Jejak
Wacana pembentukan empat batalyon baru di Aceh pertama kali disampaikan oleh Pangdam IM Mayjen TNI Niko Fahrizal. Alasan yang dikemukakan: untuk mendukung pembangunan dan ketahanan pangan. Namun rakyat Aceh justru membaca wacana ini sebagai bentuk pelanggaran terang-terangan terhadap MoU Helsinki, UUPA, dan seluruh kesepakatan hukum yang disepakati dalam proses damai pasca-konflik 2005.
Aceh adalah wilayah bekas konflik bersenjata. Dalam butir-butir perjanjian damai, sudah sangat jelas bahwa jumlah pasukan TNI di Aceh dibatasi. Maka ketika pemerintah pusat tiba-tiba mengusulkan penambahan empat batalyon, tanpa dialog terbuka dengan pemerintah Aceh dan rakyatnya, rakyat berhak curiga dan bertanya.
Lalu, mengapa tiba-tiba wacana ini lenyap begitu saja?
Jawabannya mungkin ada dua. Pertama, karena tekanan dan penolakan dari masyarakat Aceh yang begitu besar. Kedua, karena ini hanyalah strategi uji reaksi—melempar isu, melihat gejolak, lalu menarik kembali jika dirasa berisiko. Dan ini bukan pertama kalinya pola itu terjadi terhadap Aceh. Seolah-olah Aceh dijadikan laboratorium politik kekuasaan yang terus-menerus diuji daya tahannya.
Pulau yang Dipindahkan Seenaknya
Belum reda polemik batalyon, rakyat Aceh dikejutkan lagi dengan penetapan empat pulau di Aceh Singkil—di antaranya Pulau Mangkir Besar dan Pulau Mangkir Kecil—sebagai milik Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Keputusan ini dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri tanpa konsultasi yang utuh, baik kepada pemerintah Aceh maupun masyarakatnya.
Ini bukan sekadar soal batas wilayah. Ini soal harga diri. Pulau-pulau yang selama ini berada dalam kewenangan Aceh, tiba-tiba dipindahkan tanpa pembahasan yang layak. Bukan hanya keputusan sepihak—ini penegasan bahwa Aceh tidak dianggap penting dalam perumusan keputusan besar yang menyangkut wilayahnya sendiri.
Apakah dalam negara hukum, daerah istimewa seperti Aceh bisa diperlakukan sewenang-wenang? Di mana partisipasi? Di mana hak bicara rakyat? Empat pulau itu bukan benda mati di peta—itu identitas, itu warisan, itu kehormatan.
Aceh Telah Memberikan Segalanya, Tapi Apa Balasannya?
Menjadi sebuah ironi menyakitkan bahwa Aceh—yang dulu disebut sebagai “daerah modal”, yang telah memberikan segalanya bagi republik ini—hari ini justru dirampok wilayahnya, diabaikan keistimewaannya, dan ditendang keluar dari ruang keputusan.
Aceh berdamai bukan karena kalah. Aceh berdamai karena memilih jalan panjang untuk mengakhiri derita, karena ingin tetap bersama republik ini. Tapi bagaimana mungkin kedamaian itu terus dijaga jika kepercayaan terus-menerus dikhianati?
Keputusan sepihak terhadap empat pulau ini menjadi simbol dari pola lama yang tak kunjung hilang: pemerintah pusat bicara sendiri, putuskan sendiri, dan tinggalkan Aceh sebagai penonton.
Bek Mita Karu ngen Aceh
Bek mita karu ngen Aceh.
Jangan cari ribut dengan Aceh.
Kesabaran kami ada batasnya.
Hari ini, rakyat Aceh melihat bahwa yang diuji bukan hanya wilayah, tapi juga martabat. Polemik demi polemik yang terus dilemparkan kepada kami berisiko menyulut bara lama. Kami bukan pembangkang republik, tapi kami juga bukan rakyat yang bisa terus-menerus diperlakukan seenaknya.Sabtu 14/06/2025
Ini bukan bentuk penolakan terhadap NKRI. Sebaliknya, kami ingin mempertanyakan:
Jika rakyat Aceh mencintai NKRI, apakah pemerintah pusat juga mencintai rakyat Aceh?
Kami Akan Terus Bersama Suara Keadilan
Hari ini, Aceh hanya ingin dihargai. Tidak lebih.
Kami hanya ingin diakui sebagai bagian yang setara dalam republik ini.
Kami tidak akan berhenti bersuara. Karena darah Aceh adalah darah pejuang.
Dan perlawanan kami hari ini adalah perlawanan dengan pena, suara, dan martabat.
Jangan paksa kami diam. Karena diam bukan pilihan ketika keadilan terus diinjak-injak.
Oleh:Husnur Rizal Mahasiswa Fakultas Hukum Unimal Lhokseumawe asal Pidie.