Raja Ampat Alarm Darurat Dan Tumpang Pitu Yang Hampir Sekarat

Detikposnews.com // Opini – Akhir-akhir ini, isu penambangan dan hilirisasi nikel di Raja Ampat, Papua, menjadi sorotan publik. Terutama setelah sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025. Tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan asal Papua membentangkan spanduk saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah menyampaikan sambutannya. Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak buruk aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.

Seperti kita ketahui bersama, Raja Ampat telah lama menjadi primadona dalam sektor pariwisata bahari. Dengan keindahan alamnya yang menakjubkan, kawasan ini menarik wisatawan dari seluruh dunia, memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal dan nasional. Namun, aktivitas pertambangan nikel berpotensi merusak ekosistem yang menjadi daya tarik utama wisatawan. Kerusakan terumbu karang, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati dapat menurunkan minat wisatawan, mengurangi pendapatan sektor pariwisata, dan mengancam mata pencaharian masyarakat setempat yang bergantung pada industri ini.

Raja Ampat merupakan rumah bagi lebih dari 550 spesies karang keras dan 1.500 spesies ikan karang, dan dikenal sebagai pusat megabiodiversitas laut dunia. Adanya Aktivitas pertambangan yang tidak terkendali menyebabkan sedimentasi yang merusak terumbu karang, mengganggu habitat laut, dan mengancam kelangsungan hidup spesies endemik seperti hiu wobbegong dan pari manta. Kerusakan ini bersifat irreversible, menghilangkan warisan alam yang tak ternilai bagi generasi mendatang.

Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, menjadi salah satu pemain utama dalam industri tambang batu bara, timah, tembaga, nikel, bauksit, minyak bumi, gas alam dan emas di dunia. Permasalahan yang viral di media sosial tentang Raja Ampat merupakan salah satu contoh kecil, kerusakan alam akibat dunia pertambangan. Masih banyak daerah-daerah lain di Nusantara ini yang alam dan lingkungannya menjadi hancur karena imbas dari aktivitas tambang. Seperti kerusakan alam yang terjadi di Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, akibat adanya aktivitas tambang emas yang dilakukan PT. Bumi Suksesindo (BSI).

Keberadaan tambang emas di Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur memiliki sejarah yang cukup panjang. Sejak satu dekade lebih, keberadaan tambang emas ini telah berdampak buruk bagi masyarakat lokal. Konsesi tambang sendiri dilakukan oleh Merdeka Cooper Gold Tbk dengan PT Bumi Suksesindo (PT BSI) yang merupakan anak perusahaannya sebagai operator di lapangan.

Penolakan terhadap tambang emas di Gunung Tumpang Pitu bukan sekedar reaksi spontan, melainkan cerminan dari kesedihan mendalam warga terhadap dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Warga di Desa Sumberagung, khususnya di Dusun Pancer, telah lama menyaksikan bagaimana eksploitasi tambang sedikit banyak telah mengubah kehidupan mereka. Apa yang dijanjikan sebagai pembangunan dan kesejahteraan justru berakhir pada ancaman terhadap ekosistem, mata pencaharian, dan keadilan agraria.

Dahulu, Gunung Tumpang Pitu merupakan kawasan hutan lindung yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekologi di pesisir banyuwangi. Namun, keberadaan tambang emas di wilayah ini telah menyebabkan penggundulan hutan dalam skala besar, menghilangkan daerah resapan udara, serta meningkatkan risiko bencana seperti longsor dan banjir. Mata air yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi petani perlahan mengering, sementara Sungai Katakan yang sebelumnya mengairi sawah warga kini ditanggul oleh perusahaan tambang, menyebabkan kesulitan udara di Dusun Pancer. Bencana menjadi semakin akrab bagi warga yang tinggal di sekitar konsesi tambang emas Tumpang Pitu, mulai banjir beruntun dari tahun 2019-2021. Protes pada tahun 2019 dan 2020 salah satunya disebabkan oleh adanya banjir, selain juga karena jalan rusak.

Akhir-akhir ini media sosial dihebohkan dengan sebuah vidio rekaman yang menunjukkan adanya kegiatan pengeboman yang dilakukan oleh PT BSI. Dan dalam vidio amatir tersebut, terlihat jika serpihan dari ledakan tersebut dibiarkan untuk mengalir ke laut. Dampaknya ketika serpihan dari ledakan yang dilakukan oleh PT BSI dibiarkan saja jatuh ke laut pasti dampaknya akan mencemari lingkungan. Apalagi tak jauh dari lokasi tambang emas terdapat tempat wisata yang menjadi salah satu destinasi para wisatawan untuk berlibur dan berekreasi disana.

Seperti diketahui bersama, jika lokasi gunung tumpang pitu tidak jauh dengan lokasi pulau merah. Dan jika laut sekitar pulau tercemar oleh partikel tanah imbas dari kegiatan blasting, tentu saja ini merugikan warga yang mengais rezeki di daerah tersebut. Apalagi sektor pariwisata mulai dahulu merupakan program unggulan dari pemerintah kabupaten Banyuwangi. Selain itu, masyarakat di dusun pancer mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan, jika laut tercemar akibat kegiatan blasting jelas berdampak terhadap pendapatan mereka.

Dampak ekonomi dari tambang emas Tumpang Pitu juga mulai dirasakan oleh warga Desa Sumberagung. Efek dari penambangan ini memberi efek buruk pada mata pencaharian warga. Mayoritas penduduk setempat bergantung pada pertanian dan perikanan, namun keduanya kini terancam akibat pencemaran dan alih fungsi lahan. Salah satu dampak yang dirasakan warga adalah kondisi Sungai Katakan. Sungai yang selama ini menjadi sumber utama irigasi bagi petani, kini ditanggul oleh perusahaan tambang, menyebabkan banyak lahan pertanian kehilangan pasokan udara. Sumur-sumur warga yang mulai mengering, terutama dalam dua tahun terakhir, membuat kehidupan semakin sulit.

Para warga yang berprofesi sebagai petani mulai mengeluhkan lahan pertanian yang dulunya subur kini menyusut dan mengalami krisis udara. Meski samar-samar disampaikan, namun isyarat itu tampak dari keluhan-keluhan mereka, terutama bagi petani buah naga. Desa ini dikenal penghasil buah naga besar. Komoditas ini menjadi andalan warga Desa Sumberagung sejak 15 tahun terakhir. Selain buah naga juga ada komoditas jeruk. Para petaninya kini mengeluhkan tidak maksimalnya produksi buah mereka, terutama sejak kehadiran tambang. Salah satu yang mereka keluhkan tentunya terkait dengan akses air, dan potensi banjir saat musim hujan, terutama ketakutan mereka saat Sungai Katakan meluap.

Oleh karena itu, Si Penulis berharap kepada Pemerintah Pusat dan yang terhormat Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan atensi khusus kepada dampak lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Melalui viralnya pemberitaan tentang masalah pertambangan di Raja Ampat, pihaknya juga ingin agar pejabat pusat untuk turun ke Banyuwangi meninjau langsung lokasi Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.

Menurut hemat Si Penulis, adanya tambang emas di Pesanggaran tidak membawa kemajuan dan kesejahteraan untuk masyarakat Banyuwangi khususnya masyarakat ring satu. Melainkan melahirkan berjuta permasalahan baru disana, salah satunya konflik horisontal di tengah masyarakat. Lebih dari itu, kerusakan alam yang terjadi akibat aktivitas pertambangan akan menjadi problematika jangka panjang yang tak kunjung usai. Apalagi pihak perusahaan akan melakukan perluasan wilayah pertambangan di Gunung Salakan.

Penulis: Bondan Madani Ketua Umum LDKS PIJAR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *